Kamis, 22 Desember 2016

Memaknai Hari Ibu




Setiap tanggal 22 Desember, diperingati sebagai Hari Ibu Nasional. Para ibu dan perempuan berlomba untuk mengadakan rangkaian kegiatan menyambut hari “bersejarah” ini. Mulai dari upacara bendera dengan personil yang semuanya perempuan, anjangsana ke panti social, lomba-lomba dan berbagai kegiatan lainnya dalam menyemarakkan hari Ibu.

Peringatan hari Ibu sering dijadikan sebagai momen untuk mengingatkan pemerintah akan posisi kaum perempuan yang sejajar dengan laki-laki. Juga untuk semakin menguatkan gerakan emansipasi perempuan dalam seluruh lini kehidupan seperti yang dilakoni oleh para lelaki.

Tuntutan perempuan untuk bisa sejajar dengan laki-laki yang dibungkus dalam sebuah gerakan yang bernama “emansipasi” ternyata pada faktanya justru menyengsarakan perempuan. Bagaimana tidak, emansipasi telah menyeret kaum perempuan untuk berkiprah di ranah publik dan meninggalkan ranah domestik yang mereka geluti selama ini. Para wanita ini menghabiskan waktunya seharian di luar rumah dan meninggalkan anak-anaknya diasuh oleh bibi yang sebahagian besar tidak “ngeh” dengan masalah parenting dan pendidikan anak. Walhasil anak pun terbentuk menjadi pribadi yang lemah karena kurang kasih sayang, Hingga wajar jika negara ini mulai berjalan menuju kehancurannya, karena generasi mudanya adalah generasi yang lemah.

Sementara ketika mereka berkiprah diluar rumah, tidak ada jaminan keamanan, riskan dengan kekerasan dan pelecehan dan sangat sering menjadi korban kejahatan.
Sepertinya ada yang perlu kita renungkan kembali tentang pemaknaan hari Ibu. Bagi perempuan, hari Ibu bermakna penyadaran kembali (refresh) tentang peran dan tanggung jawab kita sebagai ummu wa rabbatul bait (Ibu dan Manajer Rumah Tangga). Peran Ibu adalah melahirkan keturunan/generasi yang soleh dan solehah, menjadi madrasatul ula (sekolah pertama) bagi anak-anaknya. Dalam peran ini para Ibu sebagai pencetak generasi yang menjadi pilar utama peradaban, haruslah memiliki ilmu yang mumpuni, supaya lahir generasi yang kuat dari sisi fisik dan non fisik.

Peran selanjutnya adalah sebagai manajer rumah tangga. Sebagai manajer, Ibu bertanggung jawab untuk mengelola rumah tangganya hingga menjadi nyaman bagi para penghuninya. Dialah yang berperan dalam menciptakan ketenangan dan kedamaian di dalam rumah bagi suami dan anak-anaknya.

Dalam Islam wanita tidak dilarang untuk bekerja, hukumnya mubah. Namun jangan sampai yang mubah ini justru lebih mendominasi hingga yang wajib (ibu dan manajer rumah tangga) terlalaikan.

Tidak hanya itu, kita juga butuh negara yang peduli dan paham akan tanggung jawabnya sebagai pelayan masyarakat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar